TUGAS STUDI KASUS SOSIOLOGI KOMUNIKASI
Dosen Pengampu: Silvi Aris Arinda, S.I.Kom., M.I.Kom
Oleh: Annisa Barokah Salsabella (23410132), Kelas 01
- Studi Kasus Pemberitaan Media Massa: Polarisasi Politik (Pemilu 2024)
Pemberitaan media massa tentang
isu-isu politik, terutama dalam konteks pemilihan umum, sering kali menjadi
penyebab polarisasi di masyarakat. Media yang memiliki afiliasi atau bias
politik cenderung menyajikan informasi secara parsial, memperkuat posisi
kelompok tertentu sambil melemahkan yang lain. Polarisasi ini menciptakan
kondisi di mana masyarakat terpecah berdasarkan afiliasi politik, memperburuk
kohesi sosial, dan bahkan dapat mengancam stabilitas demokrasi. Sebagai contoh,
selama pemilu di Indonesia, pemberitaan yang berat sebelah terhadap calon
tertentu dapat memperkuat sikap partisan. Media juga sering menggunakan bahasa
yang provokatif atau sensasional, yang memicu emosi dan reaksi publik. Kondisi
ini diperparah dengan keberadaan media sosial, dimana berita palsu dan hoax
mudah tersebar, memperdalam polarisasi. Pemberitaan yang berat sebelah selama
pemilu di Indonesia dapat memperkuat sikap partisan karena media memiliki
pengaruh yang besar dalam membentuk opini publik. Media tidak hanya menyampaikan
informasi, tetapi juga dapat memilih dan memprioritaskan aspek tertentu dari
suatu peristiwa, sementara mengabaikan atau mengurangi perhatian terhadap aspek
lainnya. Dengan demikian, jika media lebih menonjolkan sisi positif dari satu
calon dan sisi negatif dari calon lainnya, hal ini dapat mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap calon-calon tersebut.
Dalam konteks ini, teori agenda-setting memainkan peran
penting. Teori ini menyatakan bahwa media tidak hanya menyampaikan informasi,
tetapi juga menentukan isu-isu apa yang dianggap penting oleh masyarakat.
Dengan demikian, media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi fokus dan persepsi
publik terhadap suatu permasalahan. Jika media terus-menerus menonjolkan narasi
yang memihak, masyarakat akan terpengaruh untuk mengadopsi sudut pandang yang
sama, tanpa menyadari bahwa ada bias yang terselip dalam pemberitaan tersebut.
Media seringkali memiliki afiliasi
politik atau bias tertentu, baik itu yang sengaja dibentuk oleh kepentingan
pemilik media atau secara tidak sadar tercermin dalam cara mereka melaporkan
berita. Misalnya, jika suatu stasiun televisi atau situs berita lebih banyak
meliput aksi positif dari seorang calon dan mengabaikan kelemahannya, atau
sebaliknya, ia bisa memperkuat pandangan masyarakat yang sudah partisan. Hal
ini dapat membuat pemilih yang sebelumnya ragu menjadi lebih condong ke calon
tertentu.
Partisan media dapat menciptakan
"echo chamber" di mana individu hanya mendengarkan informasi yang
mendukung keyakinan mereka sendiri. Ketika berita disajikan dengan cara yang
menguatkan sudut pandang tertentu, konsumen media cenderung mempercayai narasi
tersebut dan mengabaikan fakta yang berlawanan. Dalam hal ini, media tidak lagi
berfungsi sebagai penyedia informasi yang objektif, tetapi sebagai alat untuk
memobilisasi dukungan bagi calon tertentu.
Selain itu, penggunaan bahasa
provokatif atau sensasional oleh media juga berperan dalam memperburuk
polarisasi politik. Berita dengan headline yang mencolok atau frasa yang
emosional cenderung menarik perhatian lebih banyak pembaca, namun seringkali
mengarah pada penyajian informasi yang kurang tepat atau berat sebelah.
Misalnya, penggunaan kata-kata seperti "korupsi besar" atau
"ancaman terhadap demokrasi" dapat memicu reaksi emosional yang kuat
dari publik, tanpa memberikan pemahaman yang seimbang dan mendalam tentang
situasi tersebut. Penggunaan bahasa yang berlebihan atau menyesatkan seperti
ini memperkuat perpecahan karena mengurangi kemampuan masyarakat untuk berpikir
kritis tentang isu-isu yang ada. Pembaca yang terprovokasi akan lebih cenderung
untuk melihat segala sesuatu dalam kerangka "kami vs mereka", yang
semakin memperburuk polarisasi.
Keberadaan media sosial semakin
memperparah situasi ini. Platform seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp
memungkinkan penyebaran informasi secara lebih cepat dan luas, termasuk berita
palsu dan hoax. Berita-berita yang tidak terverifikasi ini sering kali
disebarluaskan oleh pengguna media sosial tanpa pemeriksaan lebih lanjut, dan
dapat memperkuat keyakinan individu atau kelompok yang sudah memiliki pandangan
tertentu. Media sosial juga mendukung terbentuknya komunitas-komunitas digital
yang tertutup, di mana pengguna hanya berinteraksi dengan orang-orang yang
memiliki pandangan yang sama, menciptakan "filter bubble". Dalam
ruang tertutup ini, informasi yang lebih seimbang atau bertentangan dengan
pandangan mereka sering kali tidak muncul, sehingga memperdalam polarisasi
politik. Dalam konteks pemilu, penyebaran hoax atau informasi yang menyesatkan
dapat mempengaruhi keputusan pemilih dan menambah ketegangan dalam masyarakat.
Polarisasi yang terjadi karena media
yang berat sebelah, bahasa provokatif, dan penyebaran hoax dapat menghasilkan
polarisasi sosial yang lebih dalam. Ketika pemilih merasa terpecah antara
"kami" dan "mereka", bukan hanya dalam konteks politik,
tetapi juga dalam hubungan sosial sehari-hari, maka tercipta jarak yang lebih
besar antar kelompok dalam masyarakat. Ini dapat berakibat pada ketegangan
sosial yang berkelanjutan, bahkan setelah pemilu selesai. Selain itu,
ketergantungan pada sumber berita yang partisan dapat mengurangi kemampuan
individu untuk berpikir secara objektif tentang isu-isu penting, serta
meningkatkan ketidakpercayaan terhadap institusi politik, media, dan proses
demokrasi itu sendiri. Pemilih mungkin merasa bahwa sistem politik atau media
tidak dapat dipercaya, karena mereka hanya diberi informasi yang mendukung
agenda tertentu.
Secara keseluruhan, pemberitaan yang
berat sebelah, penggunaan bahasa provokatif, dan penyebaran informasi yang
salah melalui media sosial dapat memperburuk polarisasi politik di Indonesia.
Media, yang seharusnya berperan sebagai saluran informasi yang netral dan
objektif, sering kali menjadi instrumen untuk memperkuat sikap partisan,
sementara media sosial mempercepat penyebaran informasi yang tidak
terverifikasi, memperdalam perpecahan antara kelompok-kelompok masyarakat. Ini
bukan hanya masalah dalam konteks pemilu, tetapi juga tantangan jangka panjang
bagi integritas demokrasi dan kohesi sosial di Indonesia.
Sumber Link: https://e-journal.ukri.ac.id/index.php/jkri/article/download/3369/640/20137
2. Studi Kasus Konten Viral: Prank Galih Loss
Kasus prank Galih Loss mencerminkan fenomena yang cukup kompleks dalam dunia media sosial, yang melibatkan interaksi antara pembuat konten, audiens, dan norma sosial yang berkembang. Kasus prank Galih Loss mencakup berbagai konten kontroversial, seperti menuduh pengemudi ojek online sebagai pencuri, berpura-pura keracunan cairan berbahaya, dan yang paling menonjol adalah video berisi dugaan pelecehan agama melalui plesetan kalimat ta'awudz. Dalam video tersebut, Galih melontarkan teka-teki kepada anak kecil mengenai "hewan yang bisa mengaji," yang akhirnya diplesetkan menjadi jawaban yang dianggap melecehkan simbol agama Islam. Akibatnya, ia dikenai Pasal 28 ayat 2 UU ITE dan Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama.
Teori framing, yang dikembangkan oleh Erving Goffman, berfokus pada
bagaimana media dan individu menyusun atau membingkai suatu peristiwa atau
informasi dalam cara tertentu, yang bisa mempengaruhi cara audiens menafsirkan
peristiwa tersebut. Dalam konteks Galih Loss, konten-konten prank yang ia buat
mungkin terlihat sebagai cara untuk menghibur atau menarik perhatian. Namun,
framing tersebut seringkali membingkai isu-isu sensitif (seperti agama, norma
sosial, atau etika) dalam bentuk yang provokatif, sehingga audiens bisa
melihatnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma sosial. Dalam video yang
menyebutkan "hewan yang bisa mengaji", Galih mencoba untuk
menciptakan humor dengan pertanyaan yang mengarah pada jawaban yang dianggap
tidak pantas dan bisa menyinggung keyakinan agama. Meskipun ia mungkin
bermaksud untuk membuat konten yang menghibur, audiens memandang framing ini
sebagai hal yang melecehkan dan tidak menghormati agama. Framing semacam ini
tidak hanya membawa respons negatif, tetapi juga bisa menyebabkan kerusakan
pada reputasi pembuat konten serta menciptakan ketegangan sosial.
Teori cultivation yang dikemukakan oleh George Gerbner menyatakan bahwa
konsumsi media dalam jangka panjang dapat mempengaruhi cara pandang audiens
terhadap dunia, terutama dalam hal apa yang dianggap sebagai perilaku
"normal". Jika konten-konten seperti prank yang mengandung unsur
provokatif atau kontroversial terus diproduksi dan dikonsumsi, ada kemungkinan
bahwa masyarakat akan mulai menormalisasi jenis humor yang dapat merugikan atau
menyinggung pihak tertentu. Konten prank yang mengarah pada isu sensitif
seperti agama bisa menumbuhkan persepsi bahwa jenis humor tersebut bisa
diterima, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang "normal" di ruang
media sosial. Jika audiens terus-menerus terpapar oleh konten seperti ini, ada
kemungkinan mereka akan mulai menganggap bahwa humor yang melecehkan simbol
agama atau norma sosial adalah hal yang wajar, padahal sebenarnya dapat merusak
keharmonisan sosial dan menciptakan ketegangan antar kelompok.
Teori Uses and Gratifications oleh Katz & Blumler, teori ini
berfokus pada bagaimana audiens menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan
mereka, baik itu untuk hiburan, informasi, atau kebutuhan sosial lainnya. Dalam
konteks konten prank seperti yang dibuat oleh Galih Loss, audiens mungkin
mengkonsumsinya untuk hiburan, pelarian dari rutinitas sehari-hari, atau untuk
mengikuti tren media sosial. Namun, ketika konten tersebut mengandung unsur
yang bisa menyinggung atau melanggar norma etika, muncul pertanyaan tentang
tanggung jawab kreator media dalam menciptakan konten yang bertanggung jawab
dan tidak merugikan pihak lain. Audiens yang menikmati konten prank sering
mencari hiburan yang dapat memecah kebosanan atau memberikan sensasi. Namun,
jika konten tersebut melibatkan unsur yang dianggap melecehkan atau tidak
sensitif terhadap isu-isu tertentu, maka ada potensi terjadinya reaksi balik
dari masyarakat, yang merasa bahwa humor tersebut sudah melanggar batasan etika
dan norma. Galih Loss, sebagai kreator media, mungkin menginginkan respons atau
engagement yang tinggi dengan cara menciptakan konten yang provokatif. Namun,
hal ini juga mengundang kontroversi yang pada akhirnya merugikan dirinya
sendiri dan memperburuk citranya di mata publik.
Media sosial memiliki karakteristik
yang memungkinkan konten menjadi viral dengan sangat cepat, baik karena
dianggap lucu, menarik, atau kontroversial. Dalam kasus Galih Loss, video yang
memuat plesetan kalimat ta'awudz
cepat menyebar dan mendapat perhatian besar dari audiens, terutama karena
mengandung unsur yang dianggap melecehkan agama. Proses viralitas ini bukan
hanya menguntungkan bagi kreator dari segi popularitas, tetapi juga dapat
membawa konsekuensi hukum dan sosial yang serius jika konten tersebut dianggap
melanggar norma atau hukum. Konten seperti ini bisa meningkatkan popularitas
kreator media sosial dalam waktu singkat, tetapi juga bisa menyebabkan kerugian
jangka panjang terhadap reputasi mereka, seperti yang dialami oleh Galih Loss,
yang akhirnya menghadapi masalah hukum terkait pelanggaran UU ITE dan penistaan
agama. Konten-konten viral yang kontroversial sering kali menciptakan
ketegangan antara hak kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral dalam
menciptakan konten yang tidak merugikan pihak lain.
Kasus prank Galih Loss menggambarkan bagaimana teori-teori komunikasi dan media dapat menjelaskan dampak dari konten yang sengaja dibuat provokatif atau kontroversial. Framing yang tidak sensitif terhadap norma sosial, fenomena cultivation yang dapat menormalisasi perilaku kontroversial, serta dinamika konsumsi media yang dipengaruhi oleh teori uses and gratifications, semuanya berkontribusi terhadap dampak negatif yang muncul. Ini juga menunjukkan pentingnya kesadaran kreator media sosial terhadap batasan-batasan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta konsekuensi yang dapat timbul dari penciptaan konten yang tidak memperhatikan sensitivitas sosial dan agama.
Kedua kasus di atas menunjukkan bagaimana media, baik tradisional maupun digital, memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan menciptakan fenomena sosial. Pemberitaan media massa yang bias dapat memperburuk polarisasi politik, sedangkan konten viral yang kontroversial dapat menciptakan dampak emosional yang meluas. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih kritis terhadap konsumsi media dan kebijakan yang mendukung pemberitaan yang berimbang serta tanggung jawab platform digital dalam mengelola konten.
Sumber Link: https://www.netralnews.com/kasus-galih-loss-dan-efek-sosial-dari-prank-berbahaya-di-media-sosial/RWZhWWhIQ1B6Z1UySnZGTDkxUUpOUT09 & https://vt.tiktok.com/ZSjQuXbsA/ .Aditya, K. (2023). POLARISASI
OPINI DI MEDIA SOSIAL MENJELANG PEMILU TAHUN 2024 DI INDONESIA. 1(1).
Rahman, N. I. Z. (2019). Penggunaan Kata Tabu di Media Sosial: Kajian Linguistik Forensik. SEMIOTIKA: Jurnal Ilmu Sastra Dan Linguistik.
Ad
Comments
Post a Comment